
Johan Fanggara, CFP, siap berkomitmen menjadi tenaga pemasar asuransi purnawaktu, tapi ada satu kendala — ia merasa dirinya introver, padahal profesi ini seringnya lebih cocok untuk orang ekstrover.
Bagi Fanggara, anggota lima tahun MDRT dari Jakarta, Indonesia, aktivitas seperti cold calling dan menjalin relasi dengan orang baru terasa agak kurang nyaman. “Di bisnis jasa dan penjualan produk keuangan, rata-rata orang merasa Anda harus pintar bergaul dan punya watak ekstrover,” katanya. “Tapi saya tidak begitu.”
Fanggara sadar ia mesti mencari cara kerjanya sendiri. Maka, ia merangkai strategi untuk meraih sukses sebagai penasihat keuangan introver.
[1] Cari bantuan. Saat baru mengawali karier, Fanggara meminta bantuan istrinya. “Dia lebih pintar bergaul dan punya banyak koneksi,” katanya. “Dia yang bantu mengatur janji temu, lalu sisanya saya yang tangani.”
[2] Jaga lingkup tetap kecil. Fanggara sadar opsi terbaiknya adalah bekerja dengan orang-orang terdekat. Karena dahulu ia tinggal di luar negeri selama 12 tahun, lingkup pertemanannya di Indonesia terbatas. “Saya mulai dari keluarga sendiri dan teman-teman yang kembali dari kampus mereka di Amerika Serikat,” kata Fanggara, yang bisnisnya berfokus pada asuransi jiwa, cacat, dan penyakit kritis.
Fanggara berbagi strategi sukses menjual meski sungkan bicara dengan orang belum dikenal.
[3] Begitu dapat nasabah, minta referensi. Saat mulai berkecimpung di industri jasa keuangan di usia 29 tahun, Fanggara menghubungi teman-teman sebayanya. “Kebanyakan dari mereka lajang dan baru memulai karier, atau baru menikah,” katanya. “Saya awali dari nasabah-nasabah itu dan berkembang bersama mereka.” Saat nasabah menikah, ia mengajak mereka bicara tentang asuransi untuk pasangan. Saat anak nasabah lahir, ia membantu mereka menambah proteksinya.
Ia lalu direferensikan ke orang tua, mertua, perusahaan, dan rekan bisnis nasabah. “Untuk tiap nasabah, saya jadi penasihat bagi keluarga, sahabat, bahkan sepupu mereka.”
[4] Pakai storytelling, bukan hard selling. “Saya tidak piawai menangani keberatan, jadi daripada adu argumen, saya bagikan cerita atau gambaran yang relevan buat mereka.” Kalau nasabah penggemar sepakbola, ia pakai itu sebagai analoginya. Ia berkata, “Coba lihat tim Barcelona, mereka punya Lionel Messi, pemain super hebat. Lantas, kenapa Barcelona tetap butuh kiper? Tetap perlu bek? Karena keadaan tak selalu sesuai rencana. Itu mengapa kita perlu rencana cadangan.” Fanggara lalu membandingkan posisi-posisi dalam tim sepak bola dengan jenis-jenis asuransi yang dijual di Indonesia.
Fanggara mencoba bicara sesuai minat prospek, entah itu seorang ibu, musisi, atau orang dengan hobi tertentu. “Saya akan mencari perspektif unik yang lebih mengena di hati mereka, dari pada bicara panjang lebar soal disclosure, paket, dan produk.
[5] Tetap dekat, meski mereka tak tertarik. Tak semua orang setuju setiap kali Anda ajak bicara, kata Fanggara. Tapi ia tetap menjaga relasi dengan mereka; mereka tetap bertemu dan mengobrol – tentang apa saja selain produk finansial. “Walau hari ini menolak, belum tentu minggu depan atau bulan depan atau tahun depan tetap begitu,” katanya. “Jadi saya tetap dekat dengan mereka sebagai teman. Biasanya ini cuma soal waktu, karena sebagian orang baru mengambil keputusan finansial ketika peristiwa tertentu terjadi pada diri atau keluarga dekatnya.”
[6] Ubah pola pikir. “Saat pola pikir kita beralih dari penjual ke penasihat, jalan pikir kita jadi beda,” kata Fanggara. “Kita mulai berpikir, jika orang ini akan saya dekati, kira-kira apa pendapatnya tentang hal ini? Apa cara yang lebih pas untuk menjelaskan industri dan produk keuangan dengan bahasa yang bisa mereka mengerti?
“Bila kita membantu prospek untuk mengerti, pembelian produk akan menjadi konsekuensi yang wajar,” kata Fanggara. “Tujuan kita adalah menyediakan nasihat dan membantu mereka memahami dengan lebih baik.”
[ Asuransi dulu dianggap tabu ]
Waktu orang tua Fanggara masih muda dulu, generasi mereka tidak terlalu melek finansial, dan orang sering berpandangan negatif tentang asuransi. Masalah perusahaan asuransi yang tidak membayar klaim kian memperkeruh kesan mereka terhadap industri asuransi secara keseluruhan, kata Fanggara.
“Di Indonesia, saat mendengar kata asuransi, banyak orang langsung bersikap anti.” katanya. “Mereka tidak percaya.” Tapi belakangan, banyak dari generasi muda Indonesia yang menjadi insan profesional dan lebih melek finansial. Sikap publik mulai berubah.
“Mungkin perlu beberapa tahun lagi — orang belum melihat asuransi sebagai kebutuhan,” kata Fanggara. “Meski Indonesia negara berpenduduk terpadat keempat di dunia, baru sekitar 5-7 persen warganya yang sudah berasuransi. Pasarnya luas dan punya potensi besar untuk berkembang.”
KONTAK: Johan Fanggara jfanggara.mdrt@gmail.com