Log in to access resources reserved for MDRT members.
  • Belajar
  • >
  • Membayangkan kembali dialog digital
Membayangkan kembali dialog digital
Membayangkan kembali dialog digital

Mei 01 2023 / Round the Table Magazine

Membayangkan kembali dialog digital

Perjelas dan jadikan relasi Anda lebih konstruktif.

Topik bahasan

Sebelum pandemi Covid-19 memaksa kita bekerja dari rumah dan mengandalkan temu virtual pun, 70% dari komunikasi bisnis kita sudah bersifat elektronik. Menipisnya frekuensi interaksi tatap muka telah menggerus kemampuan membaca bahasa tubuh dan ikut memicu komunikasi surel yang berlarut-larut, menambah kesalahpahaman dan kecemasan di tim kerja.

Yang tadinya tersirat lewat isyarat bahasa tubuh kini harus tersurat jelas dalam bahasa tubuh digital, kata Erica Dhawan, pembicara, penulis, dan pakar kolaborasi dan kerja tim digital. Tiap orang punya watak digitalnya sendiri. Dan watak-watak ini bisa membangun, bisa pula mencederai relasi. Itulah sebabnya, membaca pesan digital dengan teliti kini menjadi cara mendengar yang baru, dan menulis pesan dengan jelas kini menjadi cara berempati yang baru.

Misalnya, Dhawan menceritakan kisah nyata tentang Sara yang mengirim surel ke koleganya John: “Minta pendapat, dong. Menurutmu ide ini cocok untuk presentasinya?” Yang dia maksud sebetulnya adalah “Aku punya ide bagus, tapi belum terjabarkan dengan baik. Aku butuh saranmu.” John membaca surel itu setelah seharian sibuk rapat Zoom dan mengira presentasinya sudah selesai. Dia membalas, “Cocok bagaimana? Sepertinya idemu ini masih mentah sekali.” Yang sebenarnya ingin dia katakan adalah bahwa Sara lebih memahami proyek itu darinya sehingga dia perlu diberikan konteks yang lebih jelas. Hal yang semestinya tuntas dalam 15 menit berubah menjadi ‘perang surel’ selama beberapa jam berikutnya.

Tim kerja tidak butuh lebih banyak komunikasi. Yang mereka butuhkan adalah “kecerdasan sambung rasa” (connectional intelligence) agar interaksi via pesan jadi efisien dan wawasan tersatukan dengan benar. Keduanya merupakan pilar kekuatan relasi dan jaringan, yang bisa mendorong gebrakan inovasi dan hasil nyata. Dan terkait model sambung rasa ini, Dhawan mengurainya ke dalam empat hukum bahasa tubuh digital:

1. Kentara dalam menghargai

  • Hargai waktu orang lain. Susun agenda rapat yang jelas, bangun suasana pada beberapa menit pertama, dan jangan mengubah jadwal lima menit sebelum waktu rapat atau absen tanpa pemberitahuan.
  • Akui perbedaan dengan memahami sifat-sifat introver dan ekstrover. Orang introver lebih condong ke komunikasi tulisan daripada lisan dan lebih menyukai saluran komunikasi terbuka di luar rapat. Salah seorang klien Dhawan membagikan agenda sebelum rapat virtual. Peserta undangan bisa memberi masukan sebelum rapat, untuk diterbitkan di kolom chat dan dibahas, biasanya, sebagai pembuka diskusi. “Cara itu membuka ruang ekspresi untuk introver dan mendorong keberagaman gagasan,” kata Dhawan. Orang ekstrover menyukai rapat tatap muka dan rapat virtual dan kadang butuh moderator rapat atau giliran bicara untuk menjaga keterlibatan aktif mereka. Kedua tipe kepribadian perlu ini diakomodir dalam rapat Anda.
  • Beri apresiasi luar biasa. Selama pandemi, kita menyaksikan fenomena “pengunduran diri luar biasa”. Penyebab terjadinya fenomena ini adalah karena karyawan tidak mendapatkan apresiasi luar biasa di tempat kerjanya, kata Dhawan. Cari cara untuk mengapresiasi tiap anggota tim dan sampaikan sesuai preferensi mereka. Ketahui preferensi terkait frekuensi dan media komunikasinya, apakah lewat telepon, surel, pesan singkat, atau temu tatap muka. Preferensi ini bisa berlaku baik untuk staf maupun nasabah.

'Pengunduran diri luar biasa’ terjadi karena mereka tidak mendapatkan apresiasi luar biasa di tempat kerjanya.
—Erica Dhawan

2. Teliti berkomunikasi

  • Saksama saat membaca, jelas saat menulis. Jika Anda ditanya, “Ingin mengobrol hari Rabu atau Kamis?” balasan “Ya” akan membingungkan.
  • Utamakan kejelasan, bukan keringkasan. Jika ingin meminta sesuatu, sebutkan permintaannya, tingkat prioritasnya, siapa saja pihak yang terlibat, dan kapan tenggatnya.
  • Tetapkan aturan berkirim surel. Orang yang dicantumkan di kolom “To” perlu membalas. Orang yang dicantumkan di kolom “CC” tidak perlu. Judul surel harus menyebutkan kebutuhannya. Dan label seperti 2J (dua jam) atau 4H (empat hari) bisa digunakan saat mengomunikasikan lini masa.
  • Pilih saluran yang tepat. Tidak semua pesan cocok disampaikan di semua saluran (surel, pesan singkat, media sosial, dll.). Isi pesan dan media penyampaiannya harus relevan dan terencana.

3. Percaya diri dalam berkolaborasi

  • Serasikan ekspektasi dengan eksekusi. Jika sudah akan berjanji segera menanggapi, jangan sampai orang menunggu hingga dua minggu. Jangan pasang tenggat esok pagi jika permintaannya baru dikirim pukul 10 malam. Jadilah orang yang mau percaya dan layak dipercaya.
  • Libatkan orang dalam penyelesaian masalah. Ada perusahaan yang membentuk komite untuk merancang proses yang lebih baik dan mereka mendapati bahwa staf admin, yang biasanya jarang dimintai masukan, justru ternyata menjadi sumber solusi terbaik.
  • Maksimalkan efektivitas rapat dengan merenungkan pertanyaan berikut: Apa harus sampai rapat? Apakah tiap orang dilibatkan dalam lima menit pertama? Bisakah rapatnya dibuat lebih singkat? Apakah tujuan, sasaran, atau agenda rapat sudah tercantum jelas di dalam undangannya? Apakah ukuran keberhasilan rapat sudah disebutkan di awal rapat? Apakah peserta yang hadir secara virtual ikut dilibatkan? Adakah notula yang menerangkan tindak lanjut setelah rapat? Apakah rapat direkam untuk para peserta yang perlu mengetahui perkembangan terbarunya?

Jadilah orang yang mau percaya dan layak dipercaya.

4. Percaya sepenuhnya

  • Mau percaya dahulu. Artinya, percaya bahwa Anda dipahami dan boleh jujur tentang kelemahan diri sendiri.
  • Bangun momen komunikasi yang informal dan akrab. Coba ajukan pertanyaan seperti apa lagi cara yang belum terungkapkan di sini? Apa yang kita lewatkan? Apa kabar buruk yang tidak ingin saya dengar? Menyertakan pertanyaan seperti itu ke dalam agendanya membuat para peserta bisa menyiapkan jawabannya. Contoh pertanyaan lainnya: Kalau diminta menyanggah idenya, apa sanggahannya? atau Bagaimana agar rapat berikutnya lebih baik?

Ubah kritik jadi momen konstruktif

Apa prinsip bijak saat menerima masukan negatif atau kritik? Minta lagi.

Nasihat itulah yang diterima Sarita Maybin dari mentornya saat ia masih mahasiswa S2. Bertahun-tahun setelahnya, ketika bekerja di sebuah universitas sebagai supervisor departemen, ia meminta pendapat seorang staf tentang upaya perbaikan yang perlu dilakukan di departemennya. Tanggapan staf tersebut: “Jadilah supervisor yang lebih baik.”

Pikiran jahat menggodanya untuk mengeluarkan SP dengan alasan tidak hormat kepada atasan. Tapi, ingat akan nasihat mentornya, ia bertanya, “Bisa Anda jelaskan? Apa contohnya. Saran Anda bagaimana?” Ia lantas mendapati bahwa staf tidak mengetahui pendapatnya atas kinerja mereka sehari-hari. Staf tadi juga menyarankan agar, pada rapat empat mata, ia menyampaikan satu hal yang telah mereka lakukan dengan baik dan satu hal yang perlu diperbaiki.

Maybin, pembicara, penulis, dan pakar komunikasi konstruktif, meringis memikirkan akibat yang akan timbul andai saja ia mengikuti godaan pikiran jahatnya tadi. Responsnya telah berhasil membangun kolaborasi dan relasi kerja yang lebih baik. Begitu pun, ia mengingatkan, kata-kata positif takkan berguna tanpa “pola pikir yang bersih dan cara pandang yang positif terhadap situasi atau diri staf, sekalipun kita telah mengetahui beberapa hal tentang mereka.” Artinya, kita perlu mengubah cara pandang ‘terlalu meributkan hal-hal kecil’ jadi ‘perhatian terhadap detail’, ‘keras kepala’ jadi ‘gigih’, ‘cari perhatian’ jadi ‘percaya diri’, atau ‘implusif’ jadi ‘spontan’.

Pergeseran cara pandang sebelum berbincang ini bisa diterapkan terhadap rekan kerja, atasan, atau nasabah. Daripada kata-kata yang memicu sikap defensif seperti “Kamu harus…,” “Baiknya kamu…” atau “Mestinya kamu…,” cobalah kata-kata solutif seperti “Akan sangat baik jika…,” “Akan berguna jika…” atau “Coba kita cari bersama jalan keluarnya.”

Intinya, Maybin menganjurkan agar kita santun dan berbudi bahasa. Di antara 50 ekspresi yang disusunnya untuk mengeratkan relasi kerja sama, adalah:

  • Bagaimana agar kita bisa menyelesaikan masalah ini?
  • Apa sekiranya yang perlu saya lakukan?
  • Bantu saya memahaminya.
  • Jadi, maksud Anda adalah…
  • Bila Anda melakukan _____________, dampaknya terhadap staf adalah _____________.
  • Saya khawatir kalau…
  • Mungkinkah kalau…
  • Saya ingin dengar pendapat Anda tentang…

KONTAK

Erica Dhawan erica@cotentialgroup.com
Sarita Maybin sarita@saritamaybin.com