ESG: Bukan sekadar tren, tapi tanggung jawab etis penasihat keuangan
Tony Ujung menyoroti peran strategis penasihat keuangan dalam mendorong investasi berkelanjutan berbasis ESG (Environmental, Social, and Governance).
Kesadaran terhadap dampak sosial dan lingkungan dari keputusan investasi kini meningkat, terutama di kalangan nasabah berkekayaan tinggi dan generasi muda. Dengan pendekatan yang humanis dan komitmen untuk terus belajar, Tony Ujung, anggota MDRT selama 9 tahun dari Medan, Indonesia, mulai mengintegrasikan ESG ke dalam percakapan nasabah. Ia percaya bahwa langkah kecil dari penasihat yang sadar nilai bisa membawa dampak besar bagi masa depan yang lebih berkelanjutan.
Dari niat baik, muncul arah baru: Ketika investasi menyentuh nilai
Ketertarikan Ujung terhadap pendekatan investasi berkelanjutan (ESG) bermula dari sebuah pertanyaan sederhana namun bermakna yang kerap dilontarkan oleh para nasabah berkekayaan tinggi: “Ke mana uang saya mengalir, dan apakah itu membawa dampak baik?” Pertanyaan ini membuka mata Ujung bahwa dunia investasi sedang berubah. Semakin banyak nasabah, terutama dari kalangan generasi muda dan keluarga, ingin agar portofolio mereka tidak hanya menghasilkan keuntungan, tetapi juga mencerminkan nilai dan kepedulian sosial mereka.
Sebagai sesama anggota MDRT, kita bisa melihat fenomena ini bukan sekadar tren, melainkan peluang untuk menciptakan diferensiasi layanan yang lebih bernilai, yakni melalui pendekatan yang menggabungkan kinerja finansial dengan dampak sosial dan lingkungan.
Ujung mengakui bahwa perjalanannya memahami ESG masih tergolong baru. Namun, motivasi di balik langkahnya sangat jelas: melihat meningkatnya kesadaran dari nasabah yang mulai bertanya lebih dalam soal dampak investasi mereka terhadap dunia.
“Nasabah berkekayaan tinggi kini tidak hanya mengejar hasil finansial, tetapi juga mulai merasa bertanggung jawab terhadap dampak dari investasi mereka. Ada rasa peduli yang berkembang,” ujar Ujung.
Perubahan cara pandang ini menjadi sinyal bahwa ESG bukanlah sekadar konsep sementara, melainkan bagian dari pergeseran nilai dalam dunia keuangan modern. Dan di sinilah peran penasihat keuangan seperti kita menjadi semakin relevan, tidak hanya untuk membantu mengelola aset, tetapi juga untuk membantu membentuk warisan bernilai bagi generasi berikutnya.
ESG di Indonesia: Tumbuh pelan, tantangannya nyata, nilainya besar
Meskipun konsep investasi berkelanjutan (ESG: Environmental, Social, Governance) telah berkembang pesat di banyak negara, Ujung melihat bahwa di Indonesia tren ini masih berada di tahap awal. Kesadaran terhadap keberlanjutan dalam keputusan investasi belum menyebar luas, terutama karena kurangnya literasi dan minimnya standar pengukuran yang jelas.
“Masih sangat sedikit nasabah yang benar-benar paham ESG. Banyak yang masih berfokus pada keuntungan tanpa mempertimbangkan risiko dari sisi sosial, lingkungan, maupun tata kelola,” jelas Ujung.
Ia mengakui bahwa menawarkan ESG belum semudah menjelaskan asuransi jiwa atau dana pensiun. Minimnya data lokal, belum tersedianya alat ukur yang mapan, dan adanya asumsi keliru bahwa ESG akan menurunkan imbal hasil investasi adalah beberapa tantangan nyata di lapangan. Namun menurut Ujung, justru di sinilah peran penasihat keuangan terutama dari komunitas MDRT, sangat dibutuhkan: sebagai pendidik dan pembimbing terpercaya bagi nasabah.
“Kita mungkin belum punya data lengkap, tapi kita bisa mulai dari membangun pemahaman dan membuka diskusi,” tegasnya.
Reaksi dari nasabah pun beragam. Ada yang skeptis, bahkan sinis, menganggap ESG sebagai tren sesaat atau sekadar gimmick.
“Kesalahpahaman yang paling sering saya temui adalah anggapan bahwa ESG akan menurunkan return. Padahal, ESG justru membantu mengelola risiko dan menjaga keberlanjutan investasi jangka panjang,” ujar Ujung.
Dalam menghadapi tantangan ini, ia mengandalkan pendekatan personal menggunakan komunikasi yang analogis, membangun hubungan antarpribadi yang kuat, dan menekankan nilai. Tanpa dukungan data konkret, pendekatan manusiawi menjadi jembatan untuk membangun kepercayaan.
Ia pun mengakui bahwa saat ini belum ada riset lokal mendalam yang bisa membuktikan ROI (Return on Investment) dari ESG secara spesifik di Indonesia. Namun, hal itu tidak membuatnya berhenti. “Saya percaya bahwa ESG bukan beban, melainkan strategi pertumbuhan jangka panjang. Kalau belum ada alat ukur yang mapan, kita mulai dari nilai. Karena dari niat baik, akan muncul arah baru.”
Menjadikan ESG bagian dari nilai tambah MDRT
Baginya, ESG bukanlah konsep yang berdiri sendiri, melainkan bagian yang selaras dengan nilai-nilai inti MDRT seperti konsep “Manusia Seutuhnya (Whole Person)”, pelayanan dengan integritas, dan kontribusi bermakna. Justru, ESG dapat memperkuat posisi penasihat keuangan sebagai sosok yang berpikir jangka panjang, melihat gambaran besar, dan melayani dengan empati.
“Nasabah kita semakin cerdas dan sadar. ESG bisa menjadi bahasa yang menyatukan nilai mereka dengan solusi yang kita berikan,” ujar Ujung.
Dalam pandangannya, kita tidak perlu menunggu sistem yang sempurna atau data yang lengkap untuk mulai mengadopsi pendekatan ESG. Sebaliknya, perubahan bisa dimulai dari niat baik, kemauan untuk belajar, dan komitmen untuk membuka ruang diskusi bersama nasabah.
“Kita tidak harus menunggu semuanya ideal. Mulailah dari niat, bangun kompetensi, dan dorong industri ke arah yang lebih bertanggung jawab. ESG bukan beban, ini adalah masa depan.”
Ia pun menyampaikan pesan kuat untuk rekan-rekan MDRT Indonesia:
“Bangunlah pemahaman yang benar. Jadilah penasihat keuangan yang berani membuka diskusi, terus belajar, dan ikut mendorong terciptanya infrastruktur yang mendukung. ESG bukan sekadar etika, ini adalah bagian dari strategi jangka panjang yang sehat, berkelanjutan, dan bermakna.”
Contact: MDRTeditorial@teamlewis.com