Personal branding terbaik tercipta dari keaslian, bukan pencitraan
Sylfia Tanumihardja dan Suzan Juwana membuktikan bahwa penasihat keuangan dapat membangun personal branding yang kuat tanpa harus mengorbankan jati diri.
Melalui keseharian yang ditampilkan secara konsisten di media sosial, komunikasi yang empatik, dan transparansi dalam berinteraksi dengan nasabah, keduanya menunjukkan bahwa otentisitas dan profesionalisme adalah dua pilar utama dalam membangun kepercayaan serta hubungan jangka panjang.
Dengan pendekatan yang berbeda namun saling melengkapi, Sylfia Tanumihardja, anggota MDRT selama 7 tahun, dan Suzan Juwana, anggota MDRT selama 7 tahun, membangun personal branding yang kuat dan relevan di mata publik. Tanumihardja menonjol melalui konten yang konsisten dan cerita nyata di media sosial, sementara Juwana memilih gaya komunikasi yang edukatif dan penuh empati. Keduanya menjaga keselarasan antara citra daring dan luring, serta menempatkan nilai-nilai pribadi sebagai inti dari setiap interaksi profesional yang mereka bangun.
Membangun personal branding yang otentik di industri asuransi profesional
Dalam industri keuangan yang kompetitif, personal branding menjadi jembatan penting antara penasihat keuangan dan nasabah. Bagi Tanumihardja dan Juwana, membangun citra diri bukan soal pencitraan atau mengikuti tren, melainkan menghadirkan versi terbaik dari diri sendiri, secara otentik, profesional, dan relevan di mata publik.
Juwana mulai menyadari pentingnya personal branding saat ia kerap bertemu dengan nasabah yang lebih terbuka kepada penasihat keuangan yang mampu membangun rasa percaya. Ia menekankan bahwa branding bukan tentang membicarakan diri sendiri, melainkan tentang menyampaikan nilai dan solusi yang dibutuhkan nasabah.
“Saya ingin dikenal sebagai seorang dokter gigi sekaligus penasihat keuangan yang bisa diajak ngobrol. Setelah 32 tahun merawat kesehatan gigi pasien dan 7 tahun mendampingi nasabah dalam manajemen finansial, saya membangun personal branding yang berangkat dari satu nilai: kesehatan adalah investasi. Dari klinik hingga konsultasi keuangan, misi saya sama yaitu membantu orang hidup lebih baik.” ujarnya.
Sementara itu, Tanumihardja menemukan kekuatan personal branding melalui peningkatan rasa percaya diri dan jangkauan yang lebih luas.
“Saya jadi lebih mudah diingat orang dalam konteks profesional pekerjaan saya,” tambahnya.
Keduanya sepakat bahwa tidak perlu mengubah diri untuk terlihat profesional. Mereka percaya bahwa profesionalisme sejati justru lahir dari keaslian yang dikemas secara sadar. Kuncinya adalah konsistensi dan kesadaran penuh terhadap nilai-nilai yang ingin ditampilkan. Baik dalam pertemuan langsung maupun di platform digital, Tanumihardja dan Juwana menjaga keselarasan antara penampilan, sikap, dan pesan yang mereka sampaikan.
Konsistensi, konten, dan cerita yang menyentuh
Di era digital, media sosial telah menjadi etalase utama dalam membangun personal branding. Tanumihardja aktif membagikan aktivitas sehari-harinya yang berkaitan dengan industri asuransi melalui Instagram Story, Facebook Story, dan WhatsApp Story. Ia juga secara konsisten menjaga penampilan profesional, termasuk mengenakan pakaian kerja saat bertemu langsung dengan nasabah, sebuah bentuk keselarasan antara citra daring dan luring.
Sementara itu, Juwana memilih pendekatan yang sederhana dan edukatif, tanpa pencitraan berlebihan. Ia selalu memastikan kontennya tetap relevan dan menjauhi unggahan yang mengandung isu sensitif.
“Saya menghindari debat atau unggahan yang mengandung isu sensitif karena sadar bahwa jejak digital adalah aset,” jelas Juwana.
Salah satu kekuatan utama keduanya dalam berkomunikasi adalah cerita. Juwana menggunakan pendekatan storytelling yang relevan dan berbobot, bukan terlalu personal, serta selalu menyisipkan pesan atau pelajaran di akhir cerita.
“Cerita adalah jembatan paling kuat untuk membangun kedekatan,” katanya.
Tanumihardja pun membuktikan bahwa cerita nyata dapat memperkuat hubungan dan memperluas jangkauan. Ia pernah membantu seorang nasabah yang terkena COVID-19 saat berada di Bali, mulai dari mencarikan oksigen, ambulans, hingga rumah sakit secara cashless, hingga nasabah tersebut akhirnya sembuh. Kisah tersebut dibagikan langsung oleh sang nasabah melalui media sosial, menyebut nama Tanumihardja, dan langsung mempertemukannya dengan beberapa nasabah baru dari lingkaran orang yang sama.
Selain cerita, testimoni, pengakuan profesional, dan publikasi menjadi elemen penting dalam membangun kredibilitas.
“Testimoni adalah validasi nyata dari hasil kerja saya,” ujar Juwana.
Tanumihardja juga menekankan pentingnya pencapaian dan pengalaman pribadi, terutama dalam menjalin koneksi pertama dengan calon nasabah, yang mengenalnya melalui media sosial.
Menjalin hubungan jangka panjang dengan nasabah
Menjaga profesionalisme tidak berarti mengabaikan sisi manusiawi dalam komunikasi. Juwana meyakini bahwa transparansi bukan soal membuka semua hal secara gamblang, tetapi tentang menyampaikan informasi dengan cara yang tepat, pada waktu yang sesuai.
Tanumihardja menambahkan bahwa menjelaskan segala sesuatu hingga benar-benar dipahami oleh nasabah adalah bentuk penghargaan terhadap kepercayaan mereka.
Keduanya juga menyesuaikan gaya komunikasi dengan karakteristik lintas generasi.
“Generasi Baby Boomers lebih nyaman berbicara langsung melalui telepon, Gen X cenderung memilih email, Gen Y lebih suka WhatsApp, dan Gen Z lebih responsif terhadap pesan singkat di inbox,” jelas Juwana.
Tanumihardja bahkan secara aktif memantau media sosial nasabahnya untuk memahami hobi, aktivitas, atau lokasi terkini mereka, sehingga bisa membangun percakapan yang lebih relevan dan personal.
Bagi keduanya, hubungan jangka panjang tidak dibangun lewat transaksi semata, melainkan melalui relasi yang tulus dan konsisten. Juwana secara rutin melakukan follow-up dan merespons pesan dari nasabah dengan cepat, menjaga kehadiran dan keterhubungan. Sementara itu, Tanumihardja memastikan dirinya tetap terlihat aktif di media sosial, agar nasabah selalu tahu bahwa ia terus menjalankan profesinya dengan dedikasi.
Menengok ke belakang, keduanya sepakat bahwa keaslian adalah kekuatan terbesar dalam membangun personal branding.
“Keaslian jauh lebih kuat daripada pencitraan. Nasabah lebih terhubung saat saya menunjukkan siapa saya sebenarnya,” tutup Juwana.
Bagi Tanumihardja, kehadiran dan konsistensi, justru sering membuat nasabah yang lebih dulu menghubungi.
“Kadang justru nasabah yang lebih dulu menghubungi kita,” ia menambahkan.
Contact: MDRTeditorial@teamlewis.com