Hingga akhirnya diterima
Tulus dan terus mendampingi hingga akhirnya disetujui.
Seorang rekan penasihat bertanya apakah saya bisa membantu adik lakilakinya. Dia sudah mencoba mengasuransikan adiknya ini, tetapi ditolak. Saya biasa membantu penasihat lain untuk kasus nasabah yang sulit diasuransikan dan pengajuan yang ditolak, karena saya mengerti apa yang dicari underwriter dan perusahaan reasuransi.
Saya bilang, “Baik, saya coba.” Saya hubungi nasabah (pria, usia 41) untuk mendengar ceritanya.
Dia ditolak karena penggunaan narkotika – meski sudah tiga tahun berhenti. Walau boleh jadi berbeda di negara lainnya, di Kanada, pemohon yang pernah mengonsumsi kokain dalam lima tahun sebelum pengajuan – seperti adik rekan saya itu – biasanya ditolak. Saya telusuri lagi masa lalunya untuk mencari cara membantunya. Saat nasabah masih kecil, ayahnya wafat, meninggalkan ibu dan dua abangnya (penasihat yang menghubungi saya dan seorang lagi, yang mengidap sklerosis multipel). Ibunya mengira akan bijak jika seorang ‘paman’ bisa memainkan peran ayah bagi tiga anak ini.
Tak disangka, ternyata pria itu pelaku pelecehan anak. Nasabah itu jadi sasaran. Tak berani mengadu, dia jadi korban kekerasan seksual selama bertahuntahun. Pergumu lan mental dan fisiknya membuatnya lari ke narkotika dan miras, dan hidupnya pun menderita. Di usia dewasa, dia melayangkan tuntutan. Situasi memburuk saat pelaku ditahan dan diseret ke pengadilan – masa lalu yang kelam itu terbuka lagi.
Nasabah pun masuk panti rehabilitasi, bertemu orang yang menjadi pasangannya, dan mereka baru punya anak lakilaki. Dia gencar mencari asuransi jiwa untuk keluarganya.
Sudah jadi tanggung jawab kita untuk melayani nasabah sebaik baiknya. Saya hubungi beberapa perusahaan reasuransi dan minta mereka melihat tak hanya casenya, tapi juga orangnya. Saya cari pusat rehabilitasi itu di Google, meriset latar belakangnya, dan saya ajukan paket informasi untuk dinilai perusahaan reasuransi, meyakinkan mereka bahwa pemohon tak hanya “bersih” tapi juga menjadi konselor pengguna lain yang menghadapi kondisi sulit.
Begitu mereka setuju, saya bertanya perlu pilih perusahaan asuransi yang mana. Ironisnya, saya diminta memilih perusahaan asuransi yang baru saja menolaknya. Saya sampaikan kepada kepala underwriternya bahwa kami akan membuka kembali casenya dan menjelaskan alasannya.
Saat saya hubungi nasabah, dia sedang mengemudikan truknya, dan saya sarankan agar dia menepi.
“Kabar buruk ya, Mich?”
“Intinya ada kabar untuk Anda.”
Saya bilang asuransinya disetujui. “Preminya?” Dia menyangka preminya akan jauh lebih mahal.
“Standar, tidak lebih,” jawab saya. “Anda mampu membayarnya.”
Dia mulai menangis. “Putra saya takkan mengalami derita seperti ayahnya.”
Polisnya asuransi jiwa berjangka dengan pertanggungan $1 juta dan premi kurang dari $100 sebulan karena itulah batas kemampuannya. Kebetulan, saya juga baru closing polis besar di perusahaan yang sama, dan direktur utamanya, yang sudah lama saya kenal, menelepon untuk berterima kasih. Tanggapan saya? Dia membahas polis yang keliru. Justru saya yang perlu berterima kasih kepadanya, perusahaannya, dan timnya. Bersamasama, kami meng ubah hidup dan legasi orang jadi lebih baik.