Dari hard selling ke storytelling: Jembatan yang mengubah keraguan calon nasabah jadi keyakinan
Dalam profesi sebagai penasihat keuangan, pendekatan komunikasi dapat menentukan apakah calon nasabah merasa terbantu atau justru terbebani. Bagi Sri Indra, storytelling bukan sekadar gaya berbicara, melainkan jembatan untuk membangun kepercayaan, menjelaskan konsep yang rumit, sekaligus memperkuat hubungan jangka panjang dengan nasabah.
Sebagai penasihat keuangan baru, Indra sempat memulai kariernya dengan pendekatan hard selling. Ia langsung memperkenalkan produk dan berharap calon nasabah membeli. Ada yang berhasil, tapi lebih banyak yang menolak.
Titik balik datang dari pertemuannya dengan sahabat lama. Alih-alih antusias, sang sahabat justru berkata, “Lho, kita bertemu cuma mau ditawari asuransi?” Kalimat sederhana itu membuatnya sadar bahwa menjual produk saja tidak cukup.
Sejak saat itu, Indra pun akhirnya beralih ke pendekatan soft selling, yaitu dengan membangun hubungan lebih dulu dengan calon nasabah, menggali kebutuhan mereka, lalu menawarkan solusi yang dirasa tepat. Hasilnya jauh lebih efektif, dari sepuluh pertemuan, delapan di antaranya berujung menjadi nasabah.
Seiring waktu, Indra menemukan bahwa storytelling adalah cara ampuh untuk menjelaskan konsep keuangan yang rumit kepada calon nasabah. Ia sering menggunakan analogi sederhana, seperti 3 Pos Cash Flow atau Keranjang Batu, serta kisah nyata dari pengalaman pribadi maupun nasabah lain.
“Dengan cerita, nasabah jadi lebih mudah memahami perencanaan keuangan dan proteksi. Mereka bukan hanya mengerti, tetapi juga merasa terhubung secara emosional, baik dengan saya maupun dengan apa yang saya ceritakan,” jelasnya.
Menyesuaikan cerita dengan kehidupan nasabah
Salah satu kisah yang membekas adalah ketika Indra bertemu pasangan suami-istri, Bapak dan Ibu X. Sang suami ingin membeli proteksi jiwa untuk memastikan keluarganya tidak terbebani hutang jika ia meninggal. Namun, sang istri kurang setuju dan lebih memilih menabung.
Untuk menjelaskan, Indra menggunakan analogi Keranjang Batu tersebut.
“Bayangkan Bapak dan Ibu bersama-sama mengangkat keranjang penuh batu, berisi kebutuhan sehari-hari, cicilan, biaya sekolah, bahkan hobi. Jika suatu saat Bapak tidak ada, Ibu harus memikulnya sendirian. Berat sekali, bahkan bisa menimpa Ibu. Solusinya, mari kita buat tiang penopang agar keranjang itu tidak menimpa Ibu.”, Indra bercerita.
Analogi itu begitu mengena di hati sang istri. Ia akhirnya berkata, “Saya tidak mau tertimpa keranjang batu itu. Saya setuju.”
Hingga kini, keluarga tersebut tetap menjadi nasabah loyal sejak tahun 2004.
Bagi Indra, setiap nasabah memiliki kisah dan kebutuhan yang unik. Karena itu, cerita yang disampaikan haruslah relevan dengan situasi mereka.
Misalnya, seorang perempuan muda berusia 26 tahun, baru bekerja dengan gaji sedikit di atas UMR, masih sangat awam soal perencanaan keuangan, dan memiliki trauma karena ibunya meninggal tanpa perlindungan medis yang memadai.
Indra pun memperkenalkan konsep 3 Pos Cash Flow, membedakan alokasi untuk masa kini, masa depan, dan proteksi atau perlindungan jiwa. Ia juga berbagi kisah nyata tentang nasabah lain yang sangat terbantu saat dirawat di rumah sakit. Hasilnya, sang perempuan muda tersebut pun langsung membeli produk perlindungan dan berkomitmen menambah polis seiring kenaikan gajinya.
“Dengan storytelling, produk asuransi jadi lebih mudah dipahami. Dan yang lebih penting, kita bisa membangun hubungan yang lebih dalam dengan nasabah,” ujar Indra.
Prinsip inilah yang membedakannya dari penasihat keuangan lain. Ia berpegang pada empat hal:
1. Melayani dengan tulus
2. Memberikan solusi sesuai kebutuhan
3. Terus belajar dan meningkatkan kemampuan
4. Bersyukur dan bersandar pada Tuhan
Baginya, profesi penasihat keuangan bukan sekadar soal target atau komisi, melainkan tugas mulia, yakni hadir saat nasabah sakit, berduka, atau menghadapi kesulitan.
Filosofi hidup: The more you give, the more you get
Untuk mencapai level MDRT, Indra menata strategi dengan disiplin. Target tahunan dipecah menjadi target bulanan bahkan mingguan. Namun kunci utamanya adalah komunikasi tulus, membantu siapa pun tanpa memandang latar belakang, serta doa yang menyertainya di setiap langkah.
Tantangan terbesar adalah stigma negatif terhadap profesi penasihat keuangan itu sendiri. Di awal karier, Indra pun merasa berat menyebut dirinya sebagai penasihat keuangan. Namun seiring waktu, ia melihat betapa besar manfaat yang bisa diberikan. Dari situlah lahir kepuasan batin, hingga ia menyadari bahwa profesi ini bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan.
Pengalaman bertahun-tahun membuat Indra yakin pada satu pelajaran penting, pikirkan orang lain terlebih dahulu, maka kebaikan akan kembali kepada kita. Dengan melayani sepenuh hati, ia berhasil membangun kepercayaan, loyalitas, dan bahkan mendapatkan banyak referensi baru.
“Semakin banyak yang kita berikan, semakin banyak pula yang kita dapat,” tutupnya.
Contact: MDRTeditorial@teamlewis.com